Saturday, June 15, 2013

Analisis Jurnal : Pengertian Utang Sebagai Dasar Permohonan Pailit Dalam Yurisprudensi

Nama : Widya Marzella
NPM  : 27211389
Kelas  : 2EB04


"Pengertian Utang Sebagai Permohonan Pailit DalamYurisprudensi"
Jamin Ginting


Sekilas tentang beberapa pengertian Utang:

Hakim pengadilan Niaga maupun Hakim Kasasi dan Hakim Peninjauan Kembali memberikan pengertian yang saling bertentangan mengenai pengertian "utang", hal ini dapat di lihat dari beberapa putusan sebagai berikut: 

1) Putusan Kasasi MA No. 03/ K/N/1998, tgl. 2 Desember 1998 
Permasalahan dalam kasus ini adalah perjanjian jual beli rumah susun yang tidak dipenuhi oleh pengembang, padahal pembeli telah membayar lunas bangunan tersebut. Hakim Pengadilan Niaga memberi pengertian utang secara luas, yaitu bahwa kewajiban pengembang yang tidak dapat menyelesaikan pembangunan adalah "utang" walaupun permohonan pailit yang diajukan oleh pemohon pailit atau pembeli tidak berdasarkan atas konstruksi hukum pinjam-meminjam uang, sedangkan Hakim Kasasi mengatakan bahwa judex facti salah menerapkan hukum karena perjanjian tersebut bukanlah merupakan pengertian utang sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 4 1998 tentang Kepailitan, karena utang tersebut bukan timbul dari konstruksi hukum pinjam-meminjam uang tetapi timbul dari perjanjian pengikatan jual beli rumah yang obyek perjanjiannya bukanlah pinjam meminjam uang (loan), (utang dalam arti sempit)

2) Putusan Kasasi MA No. 04 K/N/1999, tgl. 3 Maret 1999 dan Putusan Peninjauan Kembali MA N0.O6/PK/N/ 1999 
Permasalahan adalah mengenai mengenai pembelian satuan rumah susun dengan cara angsuran pengembang (developer) tidak dapat menyerahkan satuan rumah pada waktu jatuh waktunya dan tidak mau mengganti kerugian kepada pembeli rumah tersebut. Hakim Pengadilan Niaga mengabulkan permohonan pailit dari pembeli dengan menafsirkan pengertian utang secara luas demikian juga Hakim Kasasi. Hakim Mahkamah Agung yang memeriksa permohonan Peninjauan Kembali (PK) mengambil putusan yang bertentangan dengan Hakim Pengadilan Niaga dan Hakim Kasasi, karena Hakim Peninjauan Kembali berpendapat bahwa terminologi utang pokok dan bunganya adalah dalam kaitan hubungan pinjam- meminjam uang atau kewajiban (prestasi) untuk membayar sejumlah uang sebagai salah satu bentuk khusus dari berbagai bentuk perikatan (verbintenis) pada umumnya, seperti jual-beli, sewa-menyewa, penitipan, dan sebagainya. (utang dalam arti sempit) 

3) Putusan Kasasi MA No. 20 K/N/1999, tgl. 29 Juli 1999, Putusan PK MA No. 13 PK/N/1999 
Permasalahan menyangkut hubungan jual beli tanah, uang muka telah dibayar oleh pembeli, tetapi tanah tersebut tidak diserahkan oleh penjual, maka penjual kemudian membuat surat pernyataan bahwa jikalau tanah tidak diserahkan dalam tenggang waktu 90 hari, maka penjual akan menyerahkan kembali seluruh uang muka ditambah ganti rugi, tetapi penjual tidak menyerahkan tanah maupun uang muka sampai jatuh tempo 90 hari, maka penjual akan menyerahkan tanah maupun uang muka sampai jatuh tempo 90 hari tersebut, Hakim Pengadilan Niaga, mengabulkan permohonan pailit penjual sebagai pengertian utang dalam arti luas, Hakim Kasasi membatalkan putusan Hakim Pengadilan Niaga, dengan pertimbangan bahwa hubungan hukum yang terjadi antara pemohon dan termohon adalah hubungan jual-beli, bukan hubungan utang-piutang (pengertian utang dalam arti sempit), sedangkan dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK), Hakim PK membatalkan putusan Hakim Kasasi dan membenarkan putusan Hakim Pengadilan Niaga, yaitu melihat pengertian utang dalam arti luas.


Pengertian utang oleh beberapa Ahli Hukum
Menurut Jerry Hoff dalam bukunya berjudul "Indonesian Bankcruptcy Law", yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Kartini Muljadi, SH, sbb: "Kewajiban atau utang dapat timbul baik dari kontrak atau dari undang-undang (pasal 1233 Hukum Perdata). Ada kewajiban untuk memberi sesuatu, dan kewajiban untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUHPerdat). Kreditur berhak atas pelaksanaan kewajiban oleh debitur dan debitur diwajibkan untuk melaksanakan kewajibannya".6 Dari pengertian tersebut Jerry hoff menarik pengertian 'utang' sama dengan pengertian yang terdapat dalam landasan undang-undang kepailitan itu sendiri yaitu KUHPerdata, yaitu utang yang lahir dari kewajiban/utang yang timbul dari perikatan, baik prjanjian maupun undang- undang. (Pengertian utang dalam arti luas) 

Sutan Remy mengutip pendapat Kartini Muljadi bahwa penertian utang yang dimaksud dalam UUK adalah setiap kewaijban Debitor kepada setiap Kreditornya baik kewajiban itu adalah kewajiban untuk memberi sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Contoh kewajiban yang timbul dari perjanjian (yang tercakup dalam perngertian utang sebagaimana dimaksud dalam UUK) adalah7:
• Kewajiban Debitor untuk membayar bunga dan utang pokok kepada pihak yang meminjamkan.
• Kewajiban penjual untuk menyerahkan mobil kepada pembeli mobil tersebut.
• Kewajiban pembangunan untuk membuat rumah dan menyerahkannya kepada pembeli rumah
 • Kewajiban Penjamin untuk menjamin pembayaran kembali pinajaman debitor kepada kreditor.

Sedangkan menurut Sutan Remy Sahdeni sendiri bahwa utang yang dimaksud dalam Uuk itu adalah bukan tiap kewajiban Debitor kepada Kreditor, tetapi hanya sepanjang kewajiban itu dinyatakan dengan sejumlah uang, baik kewajiban itu timbul karena perjanjian apapun atau karena ditentukan oleh Undang- undang (misalnya kewajiban membayar pajak yang ditetapkan oleh UU Pajak), atau karena berdasarkan Putusan Hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pengertian Utang Dalam Rancangan Undang-Uundang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (RUU KPKPU)
Pasal 1 RUU pengertian utang disebutkan sbb: 
"Utang adalah kewaijban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam julah uang Indonesia maupun mata uang asing baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari (kontinjen), yang timbul karena perjanjian atau uandang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan. "

Dalam Penjelasan RUUKPKU mengenai pasal 1 angka 4 cukup jelas, sehingga tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai penertian utang tersebut. RUUKPKPU ini jelas-jelas mengartikan 'utang' dalam lingkup yang cukup luas dan sangat mendetail, sehingga segala sesuatu kewajiban debitur yang dapat dinilai dengan uang dapat dipailitkan, sehingga para kreditur akan cenderung menggunakan lembaga kepailitan dari pada gugatan wanprestasi di Pengadilan Niaga, karena perbuatan wanpresteasi dapat digugat pailit asalkan debitur memiliki 2 kreditur yang salah satu utangnya telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Analsis Pengertian Utang
Melihat beberapa pengertian utang yang diutarakan, penafsiran secara teoritis dan anologi dari beberapa pendapat memberikan definisi yang cukup jelas mengenai pengertian utang yaitu pengertian hutang yang memiliki arti sangat luas.
Permasalahan yang timbul adalah:

"Apakah pengertian utang yang sangat luas tersebut tetap dapat memberikan keadilan yang seimbang antara debitur dan kreditur sesuai dengan tujuan dari hukum kepailitan ? "

Pertanyaan ini muncul karena akan terjadi banyak gugatan wanprestasi terhadap debitur yang memiliki 2 kreditur yang salah satu utang (kewajibannya) telah jatuh tempo (tidak dapat dilaksanakan) dan dapat ditagih (memberikan hak kepada kreditor) dapt dipailitkan. Contohnya PT. Modern land Realty yang memiliki asset Rp. 600 Milyard secara ironis dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga atas dasar piutang terhadap pemohon pailit sebesar Rp. 90 juta. Kejadian tersebut apakah melindungi kepentingan debitur secara seimbang dengan kreditur9 karena Hakim menilai hanya dari jumlah kewajibannya saja, yang nantinya jika RUU KPKPU disahnya banyak kewajiban- kewajiban debitur yang akan dimohonkan pailit karena tidak memenuhi kewajiban tersebut bukan karena permasalahan finansial (keuangan) tetapi misalnya karena bencana alam, pemogokan, perang, devaluasi.
Pengertian utang secara luas tersebut dalam RUU KPKPU juga memberikan keleluasaan bagi Hakim Niaga untuk menentukan apakah ada kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang yang wajib dipenuhi debitor agar keputusan pailit bisa atau tidak bisa diberikan, dengan kata lain Hakim Pengadilan Niaga berwenang melakukan pemeriksaan, pembuktian dan penentuan batal tidaknya suatu perikatanjual beli serta penentuan jumlah utang antara para pihak beserta segala sanksi hukumannya akibat perbuatan wanprestasi salah satu pihak.10 Pernyataan kemudian adalah 

"Bagaimana hakim Niaga menyatakan dengan jumlah uang tertentu suatu kewajiban para pihak? "

Mengenai hal ini penulis mengutip metode yang diusulkan oleh Sutan Remy Sahdeni untuk perumusan RUU Restrukturisasi Utang dan Penyehatan Perusahaan Debitor lebih sesuai, yaitu dengan jalan sbb: 

1) Bila kewajiban yang bukan berasal dari konstruksi pinjam-meminjam uang, misalnya kewajiban seperti yang dimaksud dalam pasal 1234 KUHPerdata, yaitu kewajiban untuk menyerahkan/memberikan sesuatu, tidak berbuat sesuatu atau berbuat sesuatu, maka terlebih dahulu diadakan kesepakatan antara debitor dan kreditor mengenai berapa besar uang yang harus dibayar oleh debitor kepada kreditor sebagai akibat dari debitor yang tidak menyerahkan barang, atau tidak berbuat sesuatu yang disepakati atau berbuat sesuatu yang dilarang dalam kesepakatan tersebut.

2) Bila kesepakatan terjadi maka jumlah uatang tersebut yang menjadi dasar permohonan pailit. Jika kesepakatan tidak tercapai maka besarnya kewajiban membayar sejumlah uang tersebut harus terlebih dahulu dimintakan putusan hakim dan besarnya kewajiban yang dinilai dengan uang inilah yang diartikan sebagai utang.

Pendapat Sutan Remy ini berarti hams ada penetapan penilaian kewajiban dengan uang terlebih dahulu yang ditetapkan dengan putusan hakim (artinya ada putusan sela mengenai jumlah utang), lalu dapat dilanjutkan pemeriksaan permohonan pailit. Hal mana jika Hakim Niaga tidak dapat menilai kewajiban tersebut dengan jumlah uang maka permohonan pailit tidak dapat dilanjutkan. Ini berarti kewajiban tersebut tidak ada atau kewajiban tersebut bukan merupakan utang sebagaimana dimaksud dalam Kepailitan.

1 comments:

Unknown said...

Selamat sore,

Konsultasi Hukum

Saya hendak membeli tanah di luar pulau, kemudian saya percayakan kepada keluarga untuk mencarinya.Setelah mendapat kabar tanah sudah ada, dengan ukuran 25 m x 80 m, dan dibagi dua dengan keluarga yg mencarikan tanah tersebut.
Setelah ada kesepakatan dengan dibagi dua, saya mendapatkan 25 m x 40 m, dengan harga Rp 40,000,000 (empat puluh juta). Saya setuju dan langsung mentransfer uang Rp 40,000,000,- (empat puluh juta). Setelah pembayaran sy minta selesaikan surat-suratnya melalui telepone dan bahkan mengirim orang untuk melihat tanah tersebut, selalu dikasi alasan pemilik tanah masih di luar pulau. Pada suatu kesempatan yaitu Desember 2012 kami bertemu langsung di koata sy tinggal. Saya tanyakan legalitas tanah tersebut, gampang nanti akan segera diurus krn yg punya tanah masih di Jakarta. Tibalah pada 22 Agustus 2013, sy berkesempatan utk melihat tanah tersebut, tatapi gagal karena dia sedang sakit, kemudian tgl 28 Agustus 2013, sy bersama kakak kandung sy minta spy diantarkan melihat tanah tersebut.Kami pun ke sana bersama-sama melihatnya.

Keesokan harinya saya buatkan surat perjajian jual beli, tetapi ternyata dia tdk bisa menunjukan bukti sah tanah tersebut.

Sampai sejauh ini sy merasa tanah yang dimaksud
adalah Fiktif.

Kalau saya membatalkan niat utk membeli tanah tersebut dengan meminta kembali uang yang sudah saya bayar penuh dutambah bunga (sesuai bunga bank saat ini). Bagaimana langkah hukum yang saya ambil.

Terima kasih,

Cypri

Post a Comment

 

(c)2009 Infinitely World. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger